Masalah kabut asap lintas batas yang berulang kali terjadi telah kembali memicu ketegangan di Asia Tenggara. Mendorong menteri lingkungan Malaysia untuk merayu pemerintah Indonesia agar memberikan respons yang terkoordinasi untuk mengatasi kabut berbahaya yang menyelimuti negaranya.
Panggilan untuk tindakan ini muncul hanya beberapa waktu setelah negara-negara Asia Tenggara berkomitmen untuk menciptakan wilayah bebas kabut pada tahun 2030. Menekankan pentingnya menangani masalah mendesak ini. Beberapa minggu terakhir, tingkat polusi udara di sebagian Malaysia dan Indonesia telah meningkat drastis. Dengan indeks kualitas udara secara konsisten melebihi ambang batas kritis 150. Tingkat polusi yang tinggi ini dapat memiliki dampak kesehatan yang merugikan. Terutama bagi individu dengan kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya.
Di wilayah Indonesia di pulau Borneo, yang dikenal karena keanekaragaman hayatinya, jarak pandang turun tajam menjadi kurang dari 10 meter akibat kabut tebal. Situasi mengkhawatirkan ini menyebabkan penutupan sekolah di Indonesia dan Malaysia demi melindungi kesehatan anak-anak yang masih muda. Malaysia menyalahkan Indonesia atas masalah tersebut, mengaitkannya dengan kebakaran hutan sebagai sumbernya, karena kabur asap yang tajam melintasi perbatasan.
Fenomena kabut yang berulang kali terjadi biasanya adalah konsekuensi dari aktivitas “slash and burn” atau membakar lahan. Yang umumnya dilakukan untuk memberi jalan bagi perkebunan kelapa sawit, pulp, dan kertas yang menguntungkan. Kegiatan skala besar ini tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga mengganggu pendidikan dan berdampak negatif pada industri pariwisata.
Meskipun Malaysia baru-baru ini mengimbau untuk segera mengatasi masalah ini, Indonesia dengan tegas menolak bertanggung jawab. Menteri lingkungan hidup Indonesia, Siti Nurbaya Bakar, menyatakan bahwa kebakaran hutan telah berkurang secara signifikan. Dan tidak ada kabut yang terdeteksi menuju negara tetangga. Ia menekankan komitmen Indonesia untuk memerangi kebakaran dengan menggunakan teknik penyiram air melalui helikopter. Menunjukkan pendekatan proaktif untuk mengatasi situasi tersebut.
Masalah Kabut Asap Setiap Tahun
Indonesia sebelumnya telah mengambil tindakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang dicurigai melakukan pembakaran ilegal. Namun, kebakaran tetap terjadi setiap tahun dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Pada tahun 2015 dan 2019, Indonesia dilanda kebakaran hebat yang melalap jutaan hektar lahan, menghasilkan emisi rekor dan meliputi beberapa wilayah dengan asap berwarna kuning beracun.
Akar masalah berulang ini dapat ditelusuri hingga undang-undang di Indonesia. Yang mengizinkan petani skala kecil untuk melakukan pembakaran. Asalkan dilakukan dalam area maksimal dua hektar dan mematuhi langkah-langkah pencegahan yang ditentukan. Di sisi lain, perkebunan skala besar diwajibkan untuk mematuhi standar minyak kelapa sawit berkelanjutan yang melarang pembakaran. Sayangnya, petani-petani kecil seringkali mengandalkan metode ini yang efisien secara biaya untuk membersihkan lahan. Dan kepatuhan terhadap standar yang ditetapkan bersifat sukarela.
Kompleksitas rantai pasokan, tumpang tindih klaim tanah, dan celah-celah regulasi kadang-kadang memungkinkan perusahaan-perusahaan besar, termasuk yang dimiliki oleh perusahaan yang berbasis di negara seperti Malaysia dan Singapura, untuk menghindari tanggung jawab atas pembakaran lahan ilegal, yang lebih mempersulit masalah ini.
Dalam menanggapi tantangan yang mendesak ini, Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) baru-baru ini mendirikan Coordinating Center for Transboundary Haze Pollution Control (ACC THPC). Pusat ini didirikan dengan tujuan mendukung negara-negara anggota dalam upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemantauan kabut lintas batas. Ini merupakan langkah yang selaras dengan tekad ASEAN untuk mencapai daerah bebas kabut pada tahun 2030. Para menteri pertanian dan kehutanan ASEAN juga telah bersatu hati untuk mengambil langkah bersama dalam mengurangi bahkan menghapuskan pembakaran tanaman.
Tindakan Substansial
Para analis lingkungan berpendapat bahwa Indonesia, sebagai rumah bagi kawasan hutan hujan terbesar ketiga di dunia, harus mengambil tindakan yang lebih substansial. Terutama di tengah kondisi kering yang diperparah oleh pola cuaca El Nino tahun ini. Mereka berpendapat bahwa pemanasan iklim meningkatkan frekuensi dan keparahan kebakaran hutan dan lahan. Yang pada gilirannya memperburuk krisis iklim secara keseluruhan.
Masalah ini semakin rumit oleh permintaan global akan minyak kelapa sawit, bahan serbaguna yang digunakan dalam berbagai produk, termasuk kue, lilin, dan minyak masak. Minyak kelapa sawit adalah minyak nabati paling banyak digunakan di dunia, mencakup 60% ekspor minyak nabati global. Bagi Indonesia, produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, produk ini merupakan salah satu sumber penghasilan ekspor terbesar setelah batu bara. Pada tahun 2022, pendapatan ekspor dari minyak kelapa sawit dan turunannya mencapai $39,28 miliar, menurut data dari Asosiasi Minyak Sawit Indonesia.